Hukum Menabuh Rebana
Al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa menjawabnya sebagai berikut:
Di dalam madzhab Syafi’i bahwa Duff (rebana) hukumnya Mubah secara Mutlak (lihat dalam Faidh al-Qadir juz 1 halaman 11). Diriwayatkan pula bahwa para wanita memukul rebana menyambut Rasulullah Saw. di suatu acara pernikahan dan Rasul Saw. mendengarkan syair mereka dan pukulan rebana mereka, hingga mereka berkata: “Bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi”, maka Rasul Saw. bersabda:“Tinggalkan kalimat itu dan ucapkan apa-apa yang sebelumnya telah kau ucapkan,” (Shahih Bukhari hadits No. 4852).
Juga diriwayatkan bahwa rebana dimainkan saat hari Asyura di Madinah di masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum (Sunan Ibn Majah hadits No.1897).
Dijelaskan oleh Imam Ibn Hajar bahwa Duff (rebana) dan nyanyian pada pernikahan diperbolehkan walaupun merupakan hal yang Lahwun (melupakan dari Allah), namun dalam pernikahan hal ini (walau lahwun) diperbolehkan (keringanan syariah karena kegembiraan saat nikah), selama tak keluar dari batas-batas mubah.
Berbeda dengan rebana dalam maulid, karena isi syairnya adalah shalawat, pujian pada Allah dan RasulNya Saw., maka hal ini tentunya tak ada khilaf padanya, karena khilaf adalah pada lagu yang membawa lahwun.
Sebagaimana Rasul Saw. tak melarangnya, maka muslim mana pula yang berani mengharamkannya, sebab pelarangan di masjid adalah membunyikan hal yang membuat lupa dari Allah di dalam masjid. Sebagaimana juga syair yang jelas-jelas dilarang oleh Rasul Saw. untuk dilantunkan di masjid, karena membuat orang lupa dari Allah dan masjid adalah tempat dzikrullah, namun justru syair pujian atas Rasul Saw. diperbolehkan oleh Rasul Saw. di masjid. Demikian dijelaskan dalam beberapa hadits shahih dalam Shahih Bukhari, bahkan Rasul Saw. menyukainya dan mendoakan Hassan bin Tsabit seraya melantunkan syair di masjid, tentunya syair yang memuji Allah dan RasulNya.
Saudaraku, rebana yang kita pakai di masjid itu bukan lahwun dan membuat orang lupa dari Allah, justru rebana-rebana itu membawa muslimin untuk mau datang dan tertarik hadir ke masjid, duduk berdzikir, melupakan lagu-lagu non muslimnya, meninggalkan alat-alat musiknya, tenggelam dalam dzikrullah dan Nama Allah Swt. ‘Asyik ma’syuk menikmati rebana yang pernah dipakai menyambut Rasulullah Saw., mereka bertobat, mereka menangis, mereka asyik duduk di masjid, terpanggil ke masjid, betah di masjid, perantaranya adalah rebana itu tadi dan syair-syair pujian pada Allah dan RasulNya, dengan meniru perbuatan para sahabat yaitu kaum Anshar radhiyallahu ‘anhum yang perbuatan itu sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw.
Dan sebagaimana majelis kita telah dikunjungi banyak ulama, kita lihat bagaimana Guru Mulia al-Musnid al-‘Allamah al-Habib Umar bin Hafidz, justru tersenyum gembira dengan hadroh majelis kita, demikian pula al-‘Allamah al-Habib Zein bin Smeth (Pimpinan Ma’had Tahfidhul Qur’an Madinah Almunawwarah). Demikian pula al-‘Allamah al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri (Pimpinan Rubath Tarim, Hadramaut) juga menjadi Dosen di Universitas Al-Ahqaf Yaman. Demikian al-‘Allamah al-Habib Husein bin Muhamad al-Haddar, Mufti Baidha, mereka hadir di majelis kita dan gembira. Tentunya bila hal ini mungkar niscaya mereka tak tinggal diam dan akan melarang kemungkaran di masjid, bahkan mereka memuji majelis kita sebagai majelis yang sangat memancarkan cahaya keteduhan melebih banyak majelis-majelis lainnya.
Mengenai pengingkaran yang muncul dari beberapa ulama adalah karena mereka belum mentahqiq masalah ini, karena tahqiq dalam masalah ini adalah tujuannya, sebab alatnya telah dimainkan di hadapan Rasulullah Saw. yang bila alat itu merupakan hal yang haram mestilah Rasul Saw. telah mengharamkannya tanpa membedakan ia membawa manfaat atau tidak. Namun Rasul Saw. tak melarangnya, dan larangan Rasul Saw. baru muncul pada saat syairnya mulai menyimpang, maka jelaslah bahwa hakikat pelarangannya adalah pada tujuannya. Nah, para ulama atau kyai Ahlussunnah wal Jama’ah yang melarangnya mungkin di masa kehidupan mereka rebana dipakai hal yang mungkar dengan sorak-sorai dan tawa terbahak-bahak di dalam masjid, maka mereka melarangnya.
Baca Juga : Dalil Tahlilan
Keterangan Tambahan:
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum main rebana (terbangan) di dalam masjid pada acara-acara tertentu seperti akad nikah dan pembacaan maulid. Terdapat dua pendapat yang saling bertentangan dalam masalah ini:
Pendapat pertama menyatakan menyatakan bahwa memainkan rebana di dalam masjid diperbolehkan. berdasarkan hadits nabi:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوهُ فِي المَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Umumkanlah pernikahan dan lakukanlah di masjid serta (ramaikan) dengan memukul duff (rebana).” (Sunan Turmudzi no. 1089).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra menjelaskan, hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana dalam acara pernikahan di dalam masjid dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan rebana untuk acara-acara lainnya. Syekh al-Muhallab menyatakan bahwa semua pekerjaan yang dikerjakan di dalam masjid apabila tujuannya demi kemanfaatan kaum muslimin dan bermanfaat bagi agama, boleh dikerjakan di dalam masjid. Qodhi Iyadh juga menyatakan hal yang sama, beliau menambahkan, selama pekerjaan tersebut tidak merendahkan kemuliaan masjid maka boleh dikerjakan.
Kebolehan di atas dengan batasan selama tidak mengganggu kekhusyu’an orang-orang yang sedang mengerjakan ibadah di dalam masjid dan dilakukan dengan cara yang tidak sampai merendahkan kemuliaan masjid, jika ketentuan tersebut dilanggar maka hukumnya haram.
Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Amru bi at-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’ menjelaskan: “Diantaranya (perkara-perkara bid’ah) adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duff (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barangsiapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya.” (QS. an-Nur ayat 36).
Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Alloh Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), (bau) bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan dan berhak diberikan hukuman.”
Kesimpulannya, hukum memainkan rebana di dalam masjid adalah khilaf, sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian ulama’ melarangnya. Wallahu a’lam
Ibarot/Teks Arab:
1. Al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra juz 4 halaman 356
وفي الترمذي وسنن ابن ماجه عن عائشة – رضي الله تعالى عنها – أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال «أعلنوا هذا النكاح وافعلوه في المساجد واضربوا عليه بالدف» وفيه إيماء إلى جواز ضرب الدف في المساجد لأجل ذلك فعلى تسليمه يقاس به غيره
2. Umdat al-Qari Syarh Shahih Bukhari juz 4 halaman 220
وقال المهلب المسجد موضوع لأمر جماعة المسلمين وكل ما كان من الأعمال التي تجمع منفعة الدين وأهله
3. Fath al-Bari juz 3 halaman 340
وحكى القاضي عياض، عن بعض شيوخه، أنه قال: إنما يمنع في المساجد من عمل الصنائع التي يختص بنفعها آحاد الناس وتكتسب به، فأما الصنائع التي يشمل نفعها المسلمين في دينهم كالمثاقفة، وإصلاح آلات الجهاد مما لا امتهان للمسجد في عمله فلا بأس به. والله أعلم
4. Umdat al-Mufti wa al-Mustafti juz 1 halaman 129
مسألة : ضرب الطبل في المسجد حرام شديد التحريم، لما فيه من الإستخفاف بحرمة المسجد وامتهانه، وذلك حرامشديد التحريم، والمزمار فيه اشد تحريما، والمخالفة لما امر الله به من تعظيم المسجد ولا شك ان المستعمل للطبل والمزمار في المسجد متعرض لسخط الله ومقتهوحلول النقمة به، لأن فعله المذكور يشعر باتخفافه بحرمة المسجد – الى ان قال – واما حديث الترمذي مرفوعا :” { أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَافْعَلُو هُ فِي الْمَسَاجِ دِ وَاضْرِبُو ا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ }…فالمراد منه : جعل العقد في المسجد والدف خارجه إعلانا بالنكاح،وما استند اليه بعضهم من انه صار فعله في المسجد شعارا للأعياد والصوم ونحوهما..ف جهل قبيح وغلطفي الإستدلال، ولا تصلح العادة دليلا للأحكام الشرعية بل هذا ان وقع.. فهو شعار معاند ومراغم للشرع –إلى أن قال- يقول الفقير : مفهوم حديث مسلم : ان الإشغال بغير ذلك وضع للشيئ في غير محله ، وقد اعتيد في بعض البلدان إيقاع ختم القرآن مثلا في المسجد، وتفرقةالقهوة والحلوى والسمسم ونحوها ، ودخول الصبيان المسجد فيقع منهم تقذير المسجد، وذلك حرام شديد التحريم، والتصدق بذلك وان كان قربة في ذاته الا ان اقترانها بالمحرم وهو عدم احترام المسجد صيره محرما، فان اريد فعل الختم فيه وتفرقة ما ذكر .. وجب المنع من المحرم في المسجد اعني تقذيره والإزراء به ، ولعب الصبيان فيه كما قال ابوالعباس الطنبداوي ما ملخصه { الأمور المستحبة لا يمنع منها اذا اقترنت بها مفسدة ، وانما يمنع من تلك المفسدة كما لو وقع اختلاط النساء بالرجال فيالطواف ، فالطواف باق علىمشروعية وانما بؤمر الطائف بالبعد عنهن وغضالطرف بحيث يسلم من المفسدة} انتهى كلامه. واذا كان وقوع الختم في المسجد مع وقوع التلويث والإزدراء واللعب ولم يتأت المنع من وقوع ما اقترن بالختم من الإزدراء واللعب..صا ر فعل الختم فيه حراما، ففي فتاوى ابن حجر الحديثية { ان المواليد التي تفعل بمكة اكثرها مشتمل على خير كصدقة و ذكر وصلاة على النبي صلى الل عليه وسلم، وعلى شرور لو لم يكن منها الا رؤية النساء للرجال الأجانب، وبعضها ليس فيه شيئ لكنه قليل نادر. قال ابن حجر : ولا شك ان القسم الأول ممنوع للقاعدة المقررةالمشهورة : ان درء المفاسد مقدم على جلب المصالح، فمن علم وقوع شيئ من الحرام فيما يفعل من ذلك..فهو آثم عاص، فالخيرفيه لا يساوي شره ، الا ترى ان الشارع اكتفى من الخير بما تيسر، ومنع من جميع انواع الشر حيث قال ”اذا امرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم، واذا نهيتكم عن شيئ فاجتنبوا ” !. وقرر ابن حجر في القسم الخالي من الشر سنيته، واستتدل بالأحاديث الواردة في الأذكار الخاصة والعامة } انتهى. فمتى كان وجود القهوة والحلوى ونحوهما سببا لحضور الصبيان وانتهاكهم حرمة المسجد.. كان المحضر آثما لأن التسبب في المعصية معصية. ويجب على من له قدرة على إزالته إزالته، وانكان يزول بحضوره .. وجب حضوره او النهي الذي يزول به المنكر، فان لم يقدر على إنكاره .. حرم عليه الحضور كما في نظيره في الوليمة مع انها واجبة، ووردالزجر عن عدم الإجابة عليها ، ويأثم ولي الصبيوالسفيه المنتهك لحرمة المسجد ان اطلع على فعله ولم يزجره ، او علم ان ذلك الصبي ممن عرف بالأذية للمسجد لبذائة لسانه وكثرة صياحه ومزيد شره كأكثر صبيان العصر، وربما تجمع الصبيان وغيرهم لذلك وهناك مصلّ اوذاكر او طالب علم فيشوش عليهم، فيدخل الفاعل فيوعيد {وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ } اي لا احد اظلم منه
5. I’anat ath-Thalibin juz 3 halaman 316
وقال في شرحه: قوله أعلنواهذا النكاح، أي أظهروه إظهار السرور. وفرقا بينه وبينغيره واجعلوه في المساجد مبالغة في إظهاره واشتهاره، فإنه أعظم محافلالخير والفضل. وقوله واضربوا عليه بالدفوف: جمع دف، بالضم، ويفتح، ما يضرب به لحادث سرور. (فإن قلت) المسجد يصان عن ضرب الدف: فكيف أمر به ؟ (قلت) ليس المراد أنه يضرب فيه، بل خارجه، والامر فيه إنما هو في مجردالعقد
6. Al-Amru bi al-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’ halaman 30
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب. فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع ” أي تعظم ” ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة
Sumber: HISSAM CREW (Media Center PP. Hidayatus Salaam)
Post a Comment