Header Ads

Menimbang Kemanfaatan Sertifikasi Halal

sertifikasi halal


Polemik UU Cipta Kerja Omnibus Law masih terus bergulir di berbagai media daring. Aksi demo juga masih dilakukan oleh ormas, LSM, instansi, organisasi, dan pihak terkait yang terdampak langsung UU Omnibus Law. Dengan menggabungkan 79 Undang-undang yang berisi 11 klaster, Omnibus Law mencakup beberapa aspek tentang ketenagakerjaan, perizinan, investasi, hingga administrasi.

Besarnya pengaruh UU Cipta Kerja Omnibus Law membuat banyak kalangan akademisi, buruh, aktivis, ormas, hingga pengamat politik melancarkan aksi protes terhadap pengesahan undang-undang tersebut. Simpang siur wacana dan opini terkait pro konta Omnibus Law menjadi adegan baru yang sejenak melupakan bahaya penularan Covid-19 di tengah masyarakat.

Dari 1.244 Pasal yang disahkan, ada yang sedikit menarik dari bab Sertifikasi Halal yang biasa diterbitkan MUI. Dalam UU Omnibus Law, ketentuan sertifikasi halal tidak lagi dimandatkan mutlak kepada MUI, melainkan bisa dilakukan oleh instansi atau organisasi tertentu yang ditunjuk sebagai jalan pintas mempermudah administrasi pemasaran produk bersertifikasi halal.

Sebelumnya, berdasarkan LPPOM MUI, untuk mendapatkan sertifikasi halal pengusaha atau produsen harus mengikuti prosedur persyaratan yang sudah ditentukan sebelumnya.

1. Perusahaan mengajukan program sertifikasi halal secara daring

2. Mengisi data pendaftaran status sertifikasi

3. Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad yang terdiri dari honor audit, biaya sertifikasi halal, biaya penilaian implementasi SJH, biaya publikasi jurnal, transportasi, dan akomodasi.

4. Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dan proses bisnis yang dijalankan

5. Pemeriksaan kecukupan dokumen yang selanjutnya diterbitkan sertifikasi Halal

Indonesia merupakan negara mayoritas berpenduduk muslim. Tahun 2020 diperkirakan ada 229 juta (87,2%) penduduk beragama Islam yang menjadikannya sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Cukup dipahami jika banyak bahasan dan kebijakan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh identitas atau label-label keagamaan.

Demikian halnya dengan produk-produk yang dijual bebas dipasaran. Pelabelan halal seolah menjadi brand mark tersendiri bagi produsen dan konsumen. Minimal meyakinkan pembeli bahwa bahan baku dan proses produksi yang dilakukan sudah sesuai syariat yang ditentukan.

 

Baca Juga : Agama dan Kemanusiaan

Dampak Sertifikasi Halal

Bagi pengusaha, sertifikasi halal bisa dijadikan daya tarik pembeli agar menimbulkan kesan lebih aman dari mengkonsumsi produk yang dijual. Sedangkan bagi pembeli, pelabelan halal akan membuat lebih yakin dalam memilih produk yang akan dikonsumsi. Menjaga “kesucian diri” dari segala zat terlarang (haram) yang masuk ke dalam tubuh.

Organisasi yang manaungi sertifikasi halal pun juga “kecipratan getah” dari pengajuan ratusan hingga ribuan produk halal di Indonesia. Meskipun banyak kritikan dari beberapa ulama tentang fungsi sertifikasi halal terhadap konsumen yang mayortitas berpenduduk muslim.

Bukan dengan mengesahkan UU Omnibus Law agar mempermudah sertifikasi halal, tapi dengan mengubah konsep berpikir tentang substansi dan fungsi. Agar lebih efektif dan efisien, dengan penduduk mayoritas muslim, seharusnya yang diterbitkan adalah “sertifikasi haram”. Selain meringkas kerja organisasi yang memberikan sertifikasi, konsumen juga tidak akan diteror keharaman produk tertentu hanya karena belum didaftarkan ke LPPOM MUI.

Kekhawatiran dari euforia sertifikasi halal adalah memanfaatkan situasi yang mungkin dimainkan oleh segelintir pejabat untuk lahan korupsi. Ketika pemerintah menggenjot bibit-bibit UKM di Indonesia, di satu sisi juga “memaksanya” untuk ikut menerbitkan sertifikasi halal agar bisa diterima mudah di masyarakat.

Legalitas kehalalan produk secara tidak langsung akan mendiskreditkan pengusaha non-muslim. Selain sangsi dengan labelitas keagamaan, sertifikasi halal juga menjadi penegasan tentang sekat pembatas makanan untuk muslim dan non-muslim. Apalagi ancaman verbal maupun non-verbal dari ormas yang melarang produk-produk yang dianggap haram dan tidak layak diperjualbelikan.

Akhirnya sertifikasi halal bukan lagi kebutuhan untuk menarik konsumen, tapi lebih kepada formalitas agar aman dari persepsi publik tentang makanan atau minuman yang diproduksi. Sampai pada akhirnya banyak pengusaha non-muslim yang memaksakan diri untuk antri mensertifikasikan produknya ke LPPOM MUI.

 

 Baca Juga : Sekat Toleransi Antara Moral dan Hukum

Penafsiran Halal

Dalam kajian fikih, halal berarti segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat untuk dikonsumsi. Hal ini ditegaskan dalam Alquran QS. Al-Baqarah ayat 168;

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terbaik di bumi." Variabel yang mempengaruhi kehalalan suatu produk adalah bahannya yang tidak menggunakan zat haram atau yang dilarang dalam syariat, cara memperolehnya juga harus dengan cara yang baik dan sah, dan juga cara pengolahannya yang harus menggunakan syariat agama.

Menariknya, pemaknaan halal sudah dikonotasikan terhadap segala sesuatu yang diperbolehkan penggunaannya dalam agama Islam. Bukan lagi spesifik pada makanan atau minuman, tapi sudah merambah pada barang-barang perabotan rumah tangga. Mulai dari kulkas, kasur, microwave, hingga asbak rokok yang ramai menjadi perbincangan publik.

Penafsiran yang timbul di masyarakat bahwa segala hal yang belum disertifikasi halal berpotensi haram untuk digunakan. Padahal kalau dipahami makna denotasi dari halal adalah produk yang dikonsumsi (dimakan atau diminum), bukan dipegang atau digunakan.

Soal penilaian syarat kehalalan suatu produk, cara memperoleh produk apakah dilakukan dengan cara yang “baik” atau sah tidak akan terpantau detail oleh LPPOM MUI atau instansi terkait. Tidak semua pengusaha tunduk dan patuh pada aturan MUI dengan tetap memaksimalkan omset penjualan dari perusahaan.

Dari kerancuan memaknai halal tersebut, seharusnya UU Omnibus Law lebih memperhatikan substansi dari sertifikasi halal. Sehingga “kewajiban” produk bersertifikasi halal bisa menguntungkan semua pihak dan jauh dari praktek cuci uang. Ketika masyarakat mempercayakan hukum syariat kepada sebuah lembaga atau organisasi, setidaknya bisa menjamin ketentraman dalam mengkonsumsi produk, bukan malah menambah was-was dengan teror sertifikasi halal terhadap segala hal yang ada di depan mata.

 

Pernah dimuat di Detik

https://news.detik.com/kolom/d-5225812/menimbang-kembali-sertifikasi-halal


 *Joko Yuliyanto

Santri Majelis Fathul Hidayah. Penggagas komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama.

 

 

No comments

Powered by Blogger.