Habib Syech bin Abdulqadir Assegaf
Nama Habib Syekh Bin Abdul Qadir Assegaf sering kali terdengar di telinga melalui acara shalawatan akbar yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia. Setiap kali terdengar diadakannya acara shalawatan yang dihadiri oleh Habib Syekh, maka para Syekhermania berbondong-bondong dengan penuh antusias mendatangi tempat dimana akan diadakannya acara shalawat bersama tersebut.
Bagi para penggemar musik-musik dakwah Islam di Indonesia, mungkin mereka sudah mengenal salah satu tokoh spiritual pendakwah Islam, yaitu Habib Syekh Bin Abdul Qadir Assegaf. Di tengah riuh ramainya bumi Indonesia dengan berbagai persoalan yang bermacam-macam di segala lini kehidupan, muncullah sosok Habib Syekh yang dating dengan gerakan shalawatnya yang akan membuat sejuk kalbu.
Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf, Habib Syekh dilahirkan di kota Solo, Jawa Tengah pada tanggal 20 September 1961 M. dia adalah anak dari 16 bersaudara, ayahnya bernama Abdul Qadir Assegaf dan ayah memberi nama kepadanya “Syekh” seperti yang ia tuturkan pada wawancara dengan stasiun televisi Al Hijrah di Malaysia sebagai berikut :
“Sebetulnya nama saya, jadi Syekh yang ada dalam nama saya itu bukan gelar seorang guru, karna saya juga bukan guru, waktu itu ayah memberi nama pada saya Syekh dan orang memanggil saya Syekh bin Abdul Qadir Assegaf, bahkan kadang orang memanggil saya Syekh Abdul Qadir Assegaf, dikira saya ini guru, bukan, nama saya “Syekh”.” (Habib Syekh, Wawancara, 2015)
Ayahnya adalah seorang imam masjid Assegaf di Solo. Habib Syekh bermadzhabkan Syafi’i, beraqidahkan Asy’ari, dan mengikuti sufi dari Al Imam Ghazali. Habib Syekh mendapatkan pendidikan dari ayahnya semenjak dia kecil hingga ayahnya meninggal di saat Habib Syekh berusia 20 tahun.
Setelah ayahnya meninggal, Habib Syekh berguru kepada beberapa guru yang diantara gurunya adalah pamannya sendiri yakni Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf. Dia juga berguru kepada seorang ulama besar di Solo yakni Habib Anis bin Alwy Al Habsyi yang merupakan pengarang kitab mawlid Simthud Duror.
Dari pendidikan yang diperoleh dari sang ayah, pamannya, serta Habib Anis Al-Habsyi, ia memberanikan diri untuk mensyiarkan shalawat yang dimulainya dari kota Solo. Hingga sampai saat ini syair shalawatnya begitu berkembang pesat. Dari syi’ar inilah Habib Syekh dikenal secara luas oleh masyarakat, hal ini dikarenakan dia begitu piawai membawakan nada-nada shalawat klasik. Suaranya yang berat, berwibawa serta khas akan menyihir dan menghipnotis ribuan jama’ah yang mendengar lantunan shalawatnya.
Habib Syekh mengamalkan berbagai ilmu yang telah didapat. Dia selalu mengajak masyarakat agar cinta Rasulullah SAW hal tersebut dilakukan mulai dari kota solo.
Habib Syekh menjalankan dakwah dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Secara tidak sadar, banyak masyarakat yang mulai mengikuti majelisnya, mulai dari anak-anak, remaja, hingga kakek-nenek. Saat ini, majelisnya diikuti ribuan jama’ah mereka mengikuti majelis tersebut untuk mengetahui pentingnya cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Mulai Berdakwah
Perjalanan hidup Habib Syekh yang kini berusia 54 tahun ini cukup berliku. Habib Syekh pernah Berjaya sebagai pedagang tapi kemudian gulung tikar. Di saat sulit itu, Habib Syekh lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, diantaranya dengan melakukan dakwah ke pelosok-pelosok untuk melaksanakan tugas dari sang guru, Habib Anis Bin Alwi Al Habsyi.
Di awal tahun 90-an Habib Syekh memulai berdakwah dengan mendatangi kampung-kampung tapi tidak memakai sholawat, hanya memberi tausiyah saja, Habib Syekh tidak dipanggil atau diundang untuk memberikan tausiyah akan tetapi dia mendatangi karena keinginannya. Setiap Ramadhan sekali, ia beserta saudara-saudaranya, pergi ke kampung-kampung, ke desa-desa kita cari masjid untuk bedakwah dengan membagi takjil.
Inspirasi Habib Syekh untuk selalu berdakwah bermula dari sang ayah, Habib Abdul Qadir Assegaf. Ayahnya merupakan guru utama dan pertama. Ayahnya pulalah yang mencetaknya sebagai orang yang cinta pada shalawat. Habib Syekh tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren karena pondoknya adalah ayahnya sendiri. Selain itu, pondoknya adalah majelis atau masjid, yaitu di masjid Assegaf, Wiropaten, Pasar Kliwon, Solo, dan ayahnyalah yang menjadi imam.
Usai shalat maghrib sampai menjelang isya’, Habib Abdul Qadir selalu mengajak Habib Syekh untuk mengikuti Halaqah keilmuan, belajar al-Qur’an, dan membaca wirid secara istiqamah. Disitulah, ia berkhidmat membersihkan masjid, yaitu menyapu dan mengepel. Kegiatan itu dilakukan semenjak ia masih duduk dibangku SD.
Ayahnya, Habib Abdul Qadir menjadi sosok yang paling penting dalam dakwah Habib Syekh. Ayahnya merupakan sosok yang tidak dikenal dan tidak mengenal siapa-siapa. Hanya fakir dan miskin yang mengenalnya. Baginya, kaya atau miskin, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, hakikatnya mempunyai kedudukan sama.
Sosok kedua yang turut menjadi inspirasi dakwah Habib Syekh adalah ibunya. Ibunya selalu memotivasi diri agar mempunyai keinginan yang kuat dalam berdakwah. Selain itu ia juga terinspirasi dengan Habib Anis, Solo. Habib Anis ibarat rumah barunya. Ia dikenal sebagai sosok ahli dzauq atau rasa sekaligus guru dalam akhlak, tidak ada duanya.
Saat takziah kerumah adik iparnya di Madiun, Habib Syekh bermimpi diperintahkan oleh ayahnya untuk mengumandangkan iqamah sebagai tanda dimulainya shalat ashar. Dalam mimpinya tersebut, hadir juga Habib Anis. Ayahnya kemudian berkata, “Wahai Anis, masuklah kamu menjadi imam, dan saya menjadi makmum.” Dari mimpi ini Habib Syekh merasa ada isyarat agar ia mengikuti atau belajar kepada majelis Habib Anis di masjid Riyadh, Solo.
Dalam hal mental, Habib Syekh banyak belajar dari Habib Abdurrahman, pamannya, dari Hadramaut. Pendidikan yang diberikannya luar biasa. Hampir setiap saat, ia dicaci dan disalahkan, meski tidak bersalah.
Cacian, hinaan, merupakan pembelajaran agar Habib Syekh menjadi orang yang kuat, tahan terhadap berbagai cacian, hinaan, umpatan, dan lain sebagainya. Hal ini ia ketahui setelah ia menanyakan teman pamannya yang mendampingi ke Indonesia. Teman pamannya tersebut mengatakan bahwa pamannya, Habib Ahmad bin Abdurrahman, adalah orang yang cinta dan kagum terhadap pribadi keponakannya tersebut.
Pada saat berdakwah, Habib Syekh tak Jarang diejek dan dicemooh oleh orang-orang yang tak suka dengannya, namun dia tidak pernah marah atau mendendam kepada mereka yang mengejeknya justru sebaliknya, dia tetap tersenyum dan memberi sesuatu kepada orang tersebut.
Pada awalnya, dakwahnya dimulai dari kampung ke kampung di seputaran kota Solo dan sekitar Jawa Tengah. Dia mendatangi kampung kampung tersebut bukan karena ada yang memintanya untuk memberikan tausiyah, akan tetapi Habib Syekh sendirilah yang ingin memberikan tausiyah atau nasihat di kampung tersebut.
Berdakwah dengan Sholawat
Setelah cukup lama Habib Syekh berdakwah dari kampung ke kampung, Habib Syekh belum merasakan adanya perubahan pada jama’ah yang dinasihatinya. Hingga pada suatu hari datang pamannya dari Yaman, waktu itu Habib Syekh sudah ikut majelis di tempat Habib Anis bin Alwy Al Habsyi, Habib Anis bin Alwy Al Habsyi orang yang luar biasa, dia adalah contoh akhlak yang luar biasa, dia adalah orang yang sangat mencintai anak-anak muda untuk diajak kebaikan, dan Habib Syekh merasa senang dan tenang waktu disamping Habib Anis bin Alwy Al Habsyi. Seperti yang diceritakannya saat wawancara dengan TV9 sebagai berikut:
“Waktu itu paman saya dari Yaman beserta Habib Anis melihat dakwah saya, beliau berdua berkata kepada saya “ Wahai anakku, engkau mempunyai suara”. Kemudian paman saya juga memberikan buku Simthud Durar seraya berkata “wahai anakku, terima ini buku Simthud Durar ini, kamu baca, kamu punya suara, siapa tahu nanti kamu sekalian menyampaikan ilmu dan ini dakwah dengan shalawat.”
Medengar pesan pamannya tersebut, shalawat Simthud Durar terus dibaca. Hingga pada akhirnya, orang berduyun-duyun mendatangi majelis ta’lim dan shalawat Habib Syekh. Agar bisa akrab dengan jamaahnya dengan mempelajari bahasa jawa.
Kecintaan Habib Syekh terhadap shalawat sebenarnya sudah tumbuh sejak kecil. Tapi, kecintaanya hanyalah sebuah kecintaan yang dapat diaplikasikan dikeluarga. Pada waktu itu, hanya ayahnya yang mendengarkan shalawat merdunya. Ketika ada tamu yang dating ke rumah, ayahnya akan memanggilnya untuk membaca shalawat dan kasidah. Ia pun hanya mendendangkan dua lagu bagi tamu yang datang.
Berbekal suara merdu dan mahir berbahasa arab, serta penguasaannya terhadap syair-syair dalam kitab Simtuddurar, Burdah dan beberapa kitab shalawat lainnya, Habib Syekh memperkenalkan sebuah seni musik spiritual yang disenangi oleh banyak orang. Melalui musik spiritual ini, Habib Syekh mampu menyampaikan dakwah Islam kepada sebagian besar masyarakat yang menyenangi dunia musik.
Karena memang pada waktu kecil dia sebagai muadzin masjid Assegaf di Solo, ayahnya sebagai imam disana dan ia selalu digandeng untuk adzan disana, bahkan ia menjadi khadim di masjid situ jadi setiap hari ngepel dan sebagainya. Dan alhamdulillah, waktu itu ayahnya senang dan gembira ketika ia adzan.
Habib Syekh mempunyai inisiatif dalam rangka menarik simpati masyarakat jawa. Shalawatnya dikolaborasikan dengan lagu-lagu atau syair-syair Jawa. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo. Semua orang merasa heran karena orang Arab mahir dalam bertutur jawa, bias lagu lir-ilir, ling-iling, dan lain sebagainya. Habib Syekh sebenarnya kelahiran Solo, tapi wajahnya mirip orang Arab.
Beberapa untaian shalawat dan syair-syair Jawa dibawakan dengan baik oleh Habib Syekh dan mampu membuat ribuan jama’ah berkumpul hanya untuk mendengarkan dakwah dan lagu-lagu syair ketika Habib Syekh tampil berdakwah di suatu tempat.
Sebenarnya syair-syair shalawat yang dibawakan ia bukanlah syair puji-pujian yang baru, namun Habib Syekh beserta pasukan pemukul terbang jama’ah Ahbaabul Musthofa berhasil membentuk dan mengemas irama pembacaan shalawat tradisional menjadi lebih indah, anggun, sejuk dan menggoda telinga yang mendengarnya.
Allah SWT memberikan karunia kepada Habib Syekh dengan memiliki suara yang sangat merdu. Dengan suara merdu ini, Habib Syekh berhasil memikat semua lapisan kalangan, baik dari para tokoh agamanya, pejabat, orang tua, kawula muda, kalagan pelajar, bahkan kalangan awam sekalipun, sehingga mereka menyukai shalawat dengan syair-syair yang kebanyakan bersumber dari syair dan pujian dalam kitab Simtuddurar karya Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi, seorang tokoh ulama dan wali Allah yang menjadi rujukan umat di zamannya.
Dakwah melalui shalawat yang dilakukan Habib Syekh bisa dinikmati seluruh kalangan, mulai dari kecil, muda dan tua. Dalam setiap majelis Habib Syekh selalu memberi wejangan kepada jama’ahnya agar mengedepankan akhlak.
“Kalau sedang shalawat, niatkan membuat gembira Nabi Muhammad SAW. Silahkan bergembira dengan cara bagaimanapun, namun jangan berlebihan”.
Inilah yang selalu disampaikan oleh Habib Syekh kepada para jamaah agar menjaga akhlak. Sebab terkadang sebagian jamaah berdandan aneh sambil membawa bendera.
Peranan dakwah Habib Syekh di tanah air sangatlah besar dan membawa dampak positif yang sangat luar biasa. Diantara keinginannya adalah membumikan shalawat di negeri kita tercinta ini. Berbagai trik dilakukannya agar shalawat bisa masuk ke dalam segala unsur masyarakat.
Habib Syekh yakin majelis shalawatnya menjadi wadah rahmat. Ia berdoa agar para jamaah yang hadir selalu mendapatkan rahmat Allah SWT.
Post a Comment