Header Ads

Habib Muhammad Luthfi bin Yahya

habib luthfi bin yahya

Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya dilahirkan di kota Pekalongan pada hari Senin pagi, pada tanggal 27 Rajab 1367 H, bertepatan pada tanggal 10 November tahun 1947 M. dilahirkan dari seorang Syarifah (gelar untuk perempuan yang bernasab Rasulullah), yang bernama Sayidah al- Karimah Syarifah Nur binti Sayyid Muhsin Maula Khilah dan ayah Habib Luthfi bernama al Habib al Hafidz Ali al Ghalib.20 Kelahiran beliau disaksikan oleh seorang Ulama Besar, Wali Besar, Wali Quthb di zamannya, Habib Abu Bakar bin Muhammad as Segaf Gresik. Konon, menurut cerita Kyai Zakaria, Habib Abu Bakar pula yang memberi nama.

Selain mempunyai nasab ke Rasulullah, nasab Habib Luthfi juga masih bersambung ke Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati dan Sultan Abdul Fattah ( Raden Fattah Demak) melalui jalur istri Habib Umar bin Thoha Indramayu yang bernama Syarifah Marinah binti Tubagus Hasan Qudsi. Tubagus Hasan Qudsi merupakan keturunan Maulana Hasanuddin Banten bin Sunan Gunan Gunung Jati. Adapun Syarifah Marinah dari jalur ibunya adalah cucu dari Kyai Sam‟un Dadap Indramayu dan Kyai Sam‟un adalah keturunan dari Sultan Abdul Fattah dengan istri Sultan Fattah yang bernama Syarifah Asyiqah binti Sunan Ampel.


Perjalanan Intelektual

Perjalanan keilmuan Habib Luthfi dimulai dari mengaji secara langsung kepada ayah sendiri, Habib Ali bin Hasyim. Selain kepada ayah sendiri, Habib Luthfi juga paman-paman sendiri atau putera-puteri Habib Hasyim yang terkenal ke‟alimannya, yaitu: (1) Habib Yahya bin Hasyim yang terkenal sebagai singa podium dengan hidupnya yang sederhana, (2) Habib Husein bin Hasyim, (3) Syarifah Khadijah binti Hasyim. Selain itu, Habib Luthfi juga belajar di Madrasah Salafiah Kota Pekalongan. Guru-guru beliau di madrasah itu diantaranya: (1) Habib Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas, (2) Habib Husain bin Hasyim bin Yahya, (3) Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Muhammad Alatas, dan (4) Habib Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas.

Selanjutnya, ketika Habib Luthfi belum genap berusia 12 tahun atau tahun 1959, Habib Ali wafat, kemudian Habib Luthfi mulai nyantri ke Habib Muhammad bin Hasyim yang tak lain adalah kakak dari Habib Ali ( bahasa jawa: uwak/pak dhe) di desa Kliwed Kertasemaya Indramayu. Mengenai kehidupan Habib Luthfi di Kliwed, Syukron Ma'mun menuturkan,

“Abah itu sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Habib Muhammad. Pada usia remaja, belum genap 12 tahun, Abah tidak seperti umumnya anak seusia Abah. Jiwa kepemimpinannya sudah tampak, selalu menjadi pemimpin bagi teman permainannya, dan tak pernah pakai celana pendek. Sebagai anak pertama, setelah Ayahnya Abah, Habib Ali wafat, Abah harus ikut membantu ekonomi keluarga, terutama untuk kehidupan adik-adiknya Abah. Jadi, di Kliwed itu selain Abah nyantri, juga ikut bertani. Setiap tahun total Abah mendapatkan jatah atau gaji sebanyak 12 kantong padi. Meskipun Abah masih remaja tapi beliau sudah dipercaya oleh H. Sholeh, tokoh masyarakat Kliwed, untuk ikut mengajar di Madrasah Diniyah, karena di Madrasah hanya ada satu ustadz, yaitu ustadz Turmudzi yang aslinya dari Tulungagung. Itu pertama kalinya Abah mengajar. Sebelum Abah ikut mengajar, murid madrasah hanya berjumlah 26 murid, tapi selama setahun Abah mengajar, jumlah murid meningkat menjadi 300 murid. Tapi Abah menetap di Kliwed hanya setahun atau sampai tahun 1960. Sejak tahun 1960, Abah pindah ke pesantren Benda Kerep.”

Habib Luthfi melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke pesantren Benda Kerep Cirebon di bawah asuhan KH. Muhammad Kaukab. KH. Muhtadi dan KH. Arsyad. Alasannya, selain ke‟aliman dan kewara'an Kyai Benda Kerep, juga karena ingin meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Ayah dan Kakek Habib Luthfi yaitu  nyantri di Benda Kerep, karena dengan meneruskan langkah orang tua, maka diharapkan keberkahan dari orang tua dari Pesantren Benda Kerep terus mengalir ke Habib Luthfi dan tidak terputus. Di pesantren Benda Kerep ini, Habib Luthfi dekat dengan para Kyai Pengasuh dan Keluarga, bahkan Habib Luthfi dianggap seperti anak sendiri, dan sering meninggalkan rutinitas mengaji karena harus berkhidmah pada Kyai dan keluarga Kyai. Kedekatan itu seperti yang dideskripsikan oleh Syukron Ma'mun berikut ini,

“Abah itu sudah dianggap anak oleh para Kyai, khususnya oleh Kyai Kaukab. Segala keperluan Kyai Kaukab, sepertinya wajib disiapkan oleh Habib Luthfi, dan Habib Luthfi pun tak berani makan sebelum Kyai Kaukab makan. Kalau dalam tiga hari Kyai Kaukab tidak makan, maka dalam tiga hari Habib Luthfi tidak makan. Bahkan Kyai Kaukab yang mursyid thariqah syathariyyah itu menjelang wafatnya berkata kepada semua putra dan putri beliau dan Habib Luthfi,”Semua ilmuku sudah kuberikan kepada Ayip Luthfi. Kalau ada apa-apa, minta saja pada Ayip Luthfi”.

Selama nyantri di Benda Kerep, Habib Luhtfi juga dikenal sebagai santri yang rajin berpuasa sunah dan tirakatan, sebagaimana umumnya santri Benda Kerep di masa itu. Akan tetapi, yang membedakan antara puasa dan tirakat yang dilakukan Habib Luthfi dengan santri-santri yang lain adalah tujuannya. Karena Habib Luthfi berpuasa dan bertirakat dengan tujuan hanya mengharap ridho Allah SWT dan Rasulullah SAW, sedangkan santri-santri yang lain berharap memperoleh ilmu hikmah dan kesaktian dari puasa dan tirakat yang dilakukannya.

Selain di Benda Kerep, pada masa itu (dekade 1960-an), Habib Luthfi juga melakukan banyak perjalanan ilmiah dan dakwah, baik itu di Jawa, maupun luar Jawa, termasuk Timur Tengah. Diantara Guru-guru Beliau ialah KH. Dimyathi Comal, KH. Sholeh Kebagusan Comal, KH. Said Giren, KH. Nur Dzuriyah Moga, Habib Syekh Jagasatru, Habib Ahmad bin Ismail bin Yahya Arjawinangun, Habib Umar bin Ismail bin Yahya Panguragan, Habib Ibrahim bin Ismail bin Yahya Gegesik, Habib Muhammad bin Umar bin Yahya Palimanan, KH. Abdul Jamil Pemalang, Habib Hasan bin Husein Al-Haddad Tegal, dan lain-lain. Bahkan di tahun 1962 sampai 1963, Habib Luthfi berdakwah di basis PKI (Partai Komunis Indonesia) di dua desa wilayah kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal, yang mana dua desa itu didominasi aliran kejawen, bahkan masjid di desa itu sudah berubah fungsi menjadi kandang hewan ternak. Akan tetapi, berkat dakwah dan pendampingan yang intensif dari Habib Luthfi, pada tahun 1963 masyarakat dari dua desa itu kembali bersedia menjalankan agama Islam.

Selama menuntut ilmu, Habib Luthfi selalu berkhidmah secara total kepada guru-gurunya. Sehingga siapapun guru Habib Luthfi, Habib Luthfi selalu dianggap seperti anak sendiri. Sebagaimana ketika Habib Luthfi berguru kepada Kyai Bajuri Sudimampir Balongan Indramayu. Menjelang wafatnya Kyai Bajuri, Kyai Bajuri mengumpulkan semua anaknya termasuk Habib Luthfi, Kyai Bajuri berkata, “Semua ilmuku sudah kuberikan kepada Ayip Luthfi, kalau kalian anak-anakku ada perlu apa-apa datang saja ke Ayip Luthfi.” Selanjutnya. Secara khusus

Kyai Bajuri berkata kepada Habib Luthfi, “Habib, sebentar lagi saya akan meninggal, gurumu yang sebenarnya adalah seserang yang rambutnya gondrong agak gemuk dan tidak tinggi, tapi beliau seorang ulama besar dan wali besar.” Akan tetapi karena besarnya cinta dan hormatnya Habib Luthfi kepada Kyai Bajuri, Habib Luthfi menjawab “Kyai yang ada didepan saya adalah Kyai, maka Kyai adalah guru saya.” Jawaban seperti itu pula yang selalu disampaikan oleh Habib Luthfi ketika mau berguru termasuk ketika Habib Luthfi menghadap Habib Abu Bakar al- 'Adni bin Ali al- Masyhur (Yaman) pada tahun 2015 silam. Karena menurut Habib Luthfi ketika berguru atau di hadapan guru maka rasa cinta, hormat, dan pasrah pada guru harus total.

Setahun setelah wafatnya Kyai Bajuri tepatnya pada tahun 1968, Habib Luthfi didatangi oleh seorang yang mempunyai cirri-ciri fisik seperti yang telah digambarkan oleh Kyai Bajuri, orang itu memperkenalkan dirinya. Beliau adalah KH. Muhammad Abdul Malik. Sejak saat itu Habib Luthfi berguru kepada Mbah Malik di Kedung Paruk Purwokerto. Mbah Malik adalah mursyid thoriqah Syadziliyah dan thoriqah Naqsyabandiyyah Khalidiyah, beliau hafal Al- Qur'an, ahli tafsir, ahli hadits, dan pernah menjadi wakit mufti madzhab Syafi'i selama 35 tahun di Mekah.

Mbah Malik merupakan Syekh Futuh dari Habib Luthfi, seperti Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili dan gurunya, Syekh Abdussalam bin Masyisy. Habib Luthfi berguru kepada Mbah Malik selama 12 tahun sehingga pemikiran dan perbuatan Mbah Malik sangat mempengaruhi pemikiran dan perbuatan Habib Luthfi sekarang ini. Seperti metode Habib Luthfi dalam mengajar dan membimbing umat, termasuk nasionalisme Habib Luthfi pun terinspirasi dari Mbah Malik, selain dari Habib Ali bin Hasyim (Ayah Habib Luthfi).

“Pada Tahun 1973, Abah menikah pada tahun itu tanggal 1 Muharram. Malam hari, ketika Abah masih memakai baju pengantin, Mbah Malik datang. Abah senang karena Gurunya datang di hari pernikahannya. Kemudian Mbah Malik mengajak Abah pergi. Tanpa membawa baju ganti, dan masih memakai pakaian pengantin, Abah menuruti ajakan Mbah Malik, padahal malam itu di rumah masih ada tamu. Abah menyangka hanya pergi sebentar, tapi ternyata Mbah Malik mengajak Abah pergi ke banyak tempat. Setelah 13 hari, Abah baru pulang”.

Kedekatan antara Habib Luthfi dan Mbah Malik juga tergambar ketika Mbah Malik mendengar kabar bahwa Habib Luthfi mau datang ke Kedung Paruk, Mbah Malik langsung bahagia, bahkan kebahagiaan Mbah Malik diekspresikan dengan berdiri dan melompat-lompat seperti anak kecil yang bahagia diberi baju baru.

Maka tidak mengherankan, ketika Mbah Malik wafat, Habib Luthfi sangat sedih, dan selama beberapa hari tidak keluar kamar dan terus menangis. Kesedihan itu hilang tatkala di suatu malam Habib Luthfi bermimpi bertemu Rasulullah SAW. dan Rasulullah menunjukkan derajat Mbah Malik yang tinggi dan keadaan Mbah Malik setelah wafat.

Selain ke Mbah Malik, pada masa itu Habib Luthfi juga berguru kepada Habib Ahmad bin Ali Bafaqih Tempel yang merupakan sahabat Mbah Malik, dan juga kepada beberapa Kiai dan Habaib lain yang terkenal ke‟aliman dan kewaliannya seperti Kyai Maksum Lasem, Kyai Dimyathi Comal, Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid Tanggul, Habib Muhsin bin Hadi Beran, dan lain-lain.

Habib Luthfi juga seorang pribadi yang sangat mencintai sejarah. Karena menurutnya jika seseorang tidak mengerti sejarah maka akan mudah dicabut dari akar jati dirinya sebagai pribadi dan sebagai bangsa. Maka sejak tahun 1960-an, Habib Luthfi bergelut dengan teks-teks sejarah, dan berziarah ke makam-makam Ulama dan Auliya' untuk membaca tulisan yang tercatat di nisan.

Khusus mengenai ziarah kubur, Habib Luthfi sampai sekarang ini gemar berziarah. Bahkan dahulu ada istilah tiga serangkai ahli ziarah untuk menjuluki Habib Luthfi, KH. Fuad Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Kata Habib Luthfi,”Kalau manisnya madu ilmu ingin cepat dirasakan, sering-sering ziarah makam Ulama dan Auliya.”

Puncak dari perjalanan ilmiah Habib Luthfi menurut peneliti adalah saat Habib Luthfi mendapat ijazah secara langsung untuk berdakwah dari Nabi Muhammad SAW., sebagaimana yang dituturkan oleh Syekh Rajab Dib An-Naqsybandiy, seorang Ulama besar dan Mursyid Thariqah Naqsybandiyyah dari Suriah. 

Ada beberapa poin penting yang membuat kemanfaatan dan keberkahan ilmu dari Habib Luthfi: (1) cinta, taat, dan patuh pada ibu; selama proses belajar Habib Luthfi bukan hanya belajar, tapi juga ikut membantu ekonomi keluarga, termasuk dengan bertani, dan berjualan kayu bakar. Habib Luthfi juga melakukan segala sesuatu selalu atas restu dan doa ibu. (2) cinta, taat, dan patuh pada Guru; hal tersebut dibuktikan dengan totalitasnya berkhidmah, bahkan merelakan ketinggalan pelajaran demi memenuhi perintah guru. Sehingga semua guru mencintai Habib Luthfi dan menganggap Habib Luthfi seperti anak kandung sendiri. (3) mencari ilmu dan berguru tiada henti; bahkan sampai sekarang Habib Luthfi masih kerap berguru dan bertabaruk kepada Ulama-ulama lain, sekalipun kepada Ulama yang lebih muda usianya seperti Habib Umar bin Hafizh. Tercatat ada sekitar 95 orang guru dari Habib Luthfi.

 

No comments

Powered by Blogger.