Berburu Gelar Haji
Embel-embel simbol agama kembali dijadikan dalih untuk meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akhir ini, pembatalan pemberangkatan haji kali kedua (2020 dan 2021) mengobarkan kembali semangat kritis mengorek celah kecacatan penguasa. Politisi, agamawan, hingga artis memanfaatkan momentum mencari popularitas dengan aksi heroik bela syariat.
Peredaran pemberitaan hoaks menyebar di kolom-kolom media sosial. Dalil berhamburan disertai kecaman dan laknatan terhadap oknum yang menyalahgunakan dana haji. Sesekali ditambah bumbu dramatis memotret calon jamaah haji yang harus menunggu puluhan tahun namun gagal berangkat ke tanah suci. Meskipun belum genap setahun, Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama) dijadikan kambing hitam atas kegagalan menjalankan misi suci umat Islam tersebut.
Namun arus konfrontasi terhadap pemerintah mereda setelah adanya kejelasan status pelaksanaan ibadah haji tahun 2021. Bahwasanya, pelaksanaan ibadah haji 2021 hanya terbatas oleh domestik Arab Saudi, baik warga negara Arab Saudi atau para ekspatriat yang berada di Arab Saudi. Sedianya ibadah haji 2021 akan dibatasi untuk 60 ribu jamaah. Informasi ini sekaligus membungkam cacat pikir terhadap narasi politis mengenai pembatalan jamaah haji dari Indonesia.
Segala dilakukan untuk menurunkan kredibilitas pemerintah, termasuk informasi hoaks yang menyatakan terpenuhinya kuota haji di beberapa negara. Membandingkan kinerja pemerintah dalam negeri dan luar negeri mengenai lobi bilateral dengan Arab Saudi. Apalagi sebelumnya, Menteri Agama sangat optimis bahwa Indonesia menjadi negara prioritas seandainya ada pembukaan kuota haji.
Sebagai syarat rukun Islam, ibadah haji dijadikan instrumen untuk “mengafirkan” pemerintah dan negara dengan kesan menghalangi atau bahkan melarang menjalankan syariat agama. Haji bukan lagi simbol status sosial seseorang di lingkungan masyarakat. Saat ini ibadah haji menjadi rukun Islam yang cenderung gampang dilakukan semua orang. Bukan hanya untuk orang kaya, tukang becak hingga pemulung pun punya kesempatan sama untuk pergi haji.
Ada niatan khusus karena kerinduan mengunjungi kakbah yang sebelumnya hanya jadi hiasan dinding rumah. Ada pula yang niat pergi haji untuk eksistensi dan berburu gelar. Mengabarkan kepada dunia bahwa ada sematan gelar di depan nama yang hukumnya sunah muakad untuk disebut dalam acara-acara publik.
Baca Juga : Menimbang Kemanfaatan Sertifikasi Halal
Haji Informal
“Tidak ada paksaan dalam agama.” Penegasan dalam kitab suci yang diamini oleh banyak ulama tentang kemudahan dalam beragama. Ibadah itu gampang, tapi jangan menggampangkan. Demikian yang akhirnya menjadi obat penawar bagi fakir miskin yang tidak punya biaya untuk pergi haji. Bahkan sekarang lebih akrab dengan istilah “bila mampu” di belakang rukun Islam kelima tersebut.
Artinya ada banyak jalan untuk menjadi “haji” meskipun tidak secara formal. Kecuali bagi mereka yang antusias pergi haji karena berburu status dan gelar. Jadi untuk menambah gelar “H.” di depan nama seseorang harus mengeluarkan dana Rp 35,2 juta (2020) dan meningkat Rp 9,1 juta di tahun 2021. Itu pun harus sabar menunggu puluhan tahun untuk pergi haji.
Karena biaya dan waktu tunggu yang memberatkan pelaksanaan ritual haji di Makkah, para ulama menyusun kitab yang menjelaskan manfaat ibadah lain yang setara dengan ibadah haji. Misalnya tidak meninggalkan salat jamaah di masjid, zikir setelah salat subuh berjamaah sampai terbit matahari kemudian menjalankan salat sunah dua rakaat, dan pergi ke masjid untuk menuntut ilmu atau mencari kebaikan.
Selain itu masih banyak riwayat yang menerangkan tentang manfaat ibadah yang pahalanya setara dengan ibadah haji. Namun pahala tersebut tidak disertai dengan “stempel” haji secara resmi. Sedangkan haji informal (dilakukan tanpa pergi ke Makkah) tidak begitu dihargai dan tidak mengangkat status sosial di masyarakat. Padahal ada kemungkinan, ibadahnya orang yang berhaji informal jauh lebih khusyuk dan ikhlas dibandingkan ibadah haji formal.
Apapun itu, gelar haji tetap menjadi kebanggaan siapapun yang menyandangnya. Semoga pemburu gelar haji dapat menjaga “kemuslimannya”. Tidak melakukan hal-hal yang mencoreng agama Islam. Karena mendapat gelar haji formal dituntut bertanggungjawab mengemban amanah mencitrakan Islam yang damai dan penuh cinta kasih.
Jangan sampai setelah berhaji malah berperilaku yang jauh dari akhlak dan adab seorang muslim. Berkata bohong, menyebar fitnah, mengadu domba, bersikap anarkis, dan lain sebagainya. Teruntuk orang yang merasa keberatan mendanai biaya haji, masih banyak cara untuk meraih pahala haji jika memang ibadahnya dipersembahkan untuk Allah Swt, bukan untuk dipersembahkan kepada manusia.
Pernah dimuat di Koran Bernas
https://www.koranbernas.id/berita/detail/berburu-gelar-haji
*Joko Yuliyanto
Santri Majelis Fathul Hidayah. Penggagas komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama.
Post a Comment