Degradasi Iman Melalui Simbol Agama
Di tengah terombang-ambingnya isu ekonomi dan politik di masa panedmi Covid-19, isu agama kembali menjadi pusat perhatian tersendiri. Akhir ini kedewasaan warga negara kembali diuji dengan permasalahan sensitif yang sejak lama susah diatasi. Berbagai tokoh agama dan komunitas yang berjuang masif menggelorakan prinsip-prinsip toleransi juga hanya menjadi pemanis buatan di tengah masyarakat yang plural.
Ketika pertentangan antar suku sudah melebur menjadi kesatuan prinsip bernegara, agama hadir dengan sikap kontradiktif untuk istikamah menimbulkan kegaduhan. Bahkan sejak orde baru, perlawanan bukan hanya terjadi antar-agama, tapi juga intra-agama. Gejolak di masyarakat semakin besar dan tidak mampu dihindarkan ketika ada aksi-aksi radikal atas nama agama.
Pada dasarnya setiap individu manusia mempunyai prinsip atau idealisme masing-masing dalam menentukan sikap, termasuk meyakini sebuah kepercayaan dengan sikap intoleran misalnya. Sehingga dalam doktrin pemikirannya terkesan konservatif untuk memerangi segala hal yang dianggapnya berbeda. Ketakutan dan kekhawatirannya adalah ketika kelompoknya terancam, sehingga melancarkan aksi untuk melawan “musuhnya”.
Alasan lainnya adalah untuk konsisten menegakkan prinsip dasar khilafah yang berlandaskan syariat agama Islam. Pengikutnya meyakini bahwa perintah mendirikan negara khilafah yang kelak dipimpin oleh satu Imam adalah perintah yang wajib untuk dilaksanakan. Aktualisasinya dengan melakukan berbagai cara apapun itu untuk mewujudkan hal tersebut. Mulai dari pemberitaan yang sensitif seputar agama, pamer dan menjadikan tren simbol-simbol keagamaan, hingga aksi anarkis di berbagai daerah karena tidak ingin otoritas prinsip agamanya terancam.
Phobia Simbol Keagamaan
Simbol agama merupakan tanda yang dikultuskan oleh penganut kepercayaan yang lahir berdasarkan ritual tertentu. Dari simbol tersebut kemudian membentuk kultur, sistem, dan struktur aturan yang disepakati atas konsensus bersama pemeluk agama.
Ada beberapa bentuk simbol keagamaan. Pertama, simbol kognitif yang memiliki koheren dengan ilmu pengetahuan. Kedua, simbol moral yang berkaitan dengan ketentuan normatif. Ketiga, simbol ekspresif yang berkaitan dengan karya seni. Keempat, simbol konstitutif yang terkait dengan kepercayaan sebagai buah dari perilaku penganut agama tersebut.
Setiap agama mempunyai simbol tersendiri dalam pengejawantahan kepercayaannya. Tujuan dari simbol agama lebih digunakan sebagai pengenalan identitas keagamaan. Dalam prakteknya digunakan sebagai sarana dan atribut yang diamini kesakralannya dalam ritual keagamaan.
Kecemasan akan praktek kristenisasi melalui simbol salib menjadi viral ketika Aliansi Ummat Islam Karanganyar (AUIK) memprotes pemasangan banner atau spanduk visual HUT RI yang dianggap terdapat unsur simbol salib. Selanjutnya semakin ramai di media ketika Dewan Syari’ah Kota Surakarta (DSKS) juga melayangkan keberatannya atas desain logo HUT RI ke-75. Buntutnya bertambah gaduh ketika beberapa tokoh agama ikut menyuarakan hal serupa.
Kalau diruntut ke belakang, simbol salib sebenarnya bukan ditujukan sebagai usaha kristenisasi. Sekira tahun 326 Masehi, simbol salib sudah mulai digunakan. Mulanya berasal dari mimpi Helena yang mendapatkan wahyu untuk melakukan perjalanan rohani ke Yerussalem. Kemunculan simbol salib tidak bersamaan dengan kemunculan agama Kristen. Bahkan awalnya, umat Kristen menentang penggunaan simbol salib yang dianggap hina karena Tuhannya dihukum salib. Namun setelah proses penyaliban Yesus Kristus, umat kristiani perlahan menggunakan simbol salib dalam setiap ritual keagamaannya. Meskipun mereka masih beranggapan bahwa tidak ada makna tertentu yang terkandung di dalamnya.
Jika setiap hal yang memiliki unsur simbol salib dianggap sebagai bentuk terselubung dari proses kristenisasi, maka akan banyak sekali benda atau gambar di sekitar kita yang seolah merupakan simbol salib. Soal polemik logo HUT RI ke-75 pun sudah dijelaskan oleh Mensesneg bahwa logo tersebut sama sekali tidak ada unsur memasukan simbol salib di dalamnya.
Mengatasi Skeptisme Iman
Penolakan akan segala hal yang berbau unsur simbol agama tertentu merupakan sikap skeptisme terhadap iman seseorang. Khawatirnya banyak orang yang imannya goyah hanya karena melihat simbol agama. Perekrutan umat adalah solusi alternatif untuk menguatkan basis kekuatan di suatu daerah. Sehingga kaum minoritas bisa bersuara atas segala bentuk ketidakadilan terhadapnya.
Orang awam yang dianggap lemah iman merupakan konsumen agama yang menjadi rebutan antar golongan atau institusi agama. Dalam kasus logo HUT RI ke-75, tokoh dan beberapa ormas Islam yang menentang, mencemaskan umat Islam lainnya yang barangkali bisa auto-murtad, hanya dengan melihat simbol salib.
Pembatasan gerak-gerik agama lain, selain Islam, seolah dibatasi dengan keberadaan ormas dan tokoh influencer agama tersebut. Bahkan kebebasan mendirikan tempat ibadah pun sempat dilarang di beberapa daerah. Sebaliknya, karena merasa mayoritas, agama Islam tampil begitu jumawa menegakkan prinsipnya. Sehingga siap melawan atau bahkan berperang kepada siapa saja yang tidak tunduk terhadap tuntutannya.
Kedigdayaan umat kurang begitu diikuti sebagian ormas atau tokoh muslim lainnya. Sehingga dalam prosesnya, masih timbul sikap kecemasan dan ketakutan jika ada umatnya yang “hijrah” ke agama lain. Akhirnya, umat Islam abangan dianggap sebagai barang dagangan yang diperjual-belikan bebas di pasar.
Sikap skeptisisme iman ini sebenarnya adalah hal yang tidak perlu dikhawatirkan berlebihan. Toh, sudah begitu banyak bangunan mewah gereja dengan simbol salib di atasnya, umat muslim biasa saja menjalankan aktivitasnya tanpa mempermasalahkan motif kristenisasi di dalamnya. Aneh rasanya jika ada muslim mendadak menjadi nasrani hanya karena melihat salib, begitu pun sebaliknya ketika ada orang nasrani yang tiba-tiba menjadi muslim hanya karena melihat kubah masjid atau tasbih di toko.
Seharusnya ormas atau tokoh agama memberikan image menarik dari agama yang ingin didakwahkannya. Bukan dengan merendahkan atau melecehkan agama lain. Bukan pula melarang usaha agama lain untuk mendakwahkan hal yang serupa, mengingat Indonesia adalah negara demokrasi yang menjamin keadilan bagi rakyatnya.
Sikap skeptisme terhadap iman umat adalah bentuk ketidakpercayaan diri terhadap kebenaran agama yang dianutnya. Seyogyanya sebagai umat beragama bisa memberikan kebebasan setiap manusia untuk menentukan pilihan agamanya. Maka dari itu, perindahlah agama kita masing-masing agar pantas dipilih dan dianut kebenaranya, bukan dengan cara memperolok agama lain untuk menunjukan eksistensi mayoritasnya.
Pernah dimuat di Islami.co
https://islami.co/fobia-umat-islam-terhadap-simbol-agama-perasaan-terancam-rebutan-umat/
*Joko Yuliyanto
Post a Comment